Senin, 29 Maret 2010

KERJASAMA EKONOMI ASIA DAN POSISI INDONESIA

Tiap kali kita baca adanya perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement,FTA) yang regional atau bilateral, misalnya terakhir ini antara Jepang dan Malaysia, kami merasa cemas. Sikap Indonesia seharusnya bagaimana? Membiarkan hal-hal demikian berlalu dan Indonesia tetap menjaga pasar dalam negerinya dalam semangat splendid isolation? Atau merasa cemas Indonesia bisa ketinggalan sepor kalau tidak ikut-ikut? Sikap Pemerintah RI pun mendua, di satu fihak Presiden sibuk sekali meningkatkan profil internasionalnya dan menyatakan ingin bekerja sama dengan semua negara berteman, di lain fihak, Indonesia juga terkenal dengan sikapnya yang sangat proteksionis dan nasionalistik, cenderung mengukung diri.
Negara yang kecil, seperti Singapura dan Taiwan, tidak punya alternatif selain membuka diri selebar-lebarnya terhadap perdagangan internasional, dan mereka amat berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berdagang seluas-luasnya dengan dunia internasional. Di lain fihak, negara berkembang yang besar, seperti India, Cina dan Indonesia, bisa memilih menumbuhkan ekonominya dengan modal dasar pasar dalam negerinya. Bagi Indonesia, misalnya, sentimen ekonomi kuat memandang besar pasar dalam negerinya sebagai “modal utama untuk pembangunan”, dan untuk itu harus dilindungi. Jangan kasih pasar dalam negeri kepada asing!

India adalah negara yang untuk puluhan tahun menutup diri, tetapi selama itu kinerja pertumbuhan ekonominya sangat rendah. Terkenallah “Hindu rate of growth” sekitar 3% setahun saja. Maka berbelasan tahun sesudah merdeka, India tetap merupakan negara yang miskin, lebih miskin daripada Indonesia. Akan tetapi, sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu, di bawah pengaruh Mahmohan Singh dan koleganya menteri perdagangan, India mulai meniru Asean, dan mengadakan liberalisasi dan deregulasi. Didukung oleh partai politik yang lebih reformis (Bharatya Janata Party, BJP), yang bisa merebut kekuasaan dari Partai Konggres (partai Nehru) maka India berhasil membuka diri dan mengangkat laju pertumbuhan PDB-nya. Akan tetapi, kesenjangan antara yang kaya (baru) dan (mayoritas) yang tetap miskin melebar dan pada pemilu berikutnya BJP kehilangan suara. Sekarang Partai Kongres memerintah lagi, dan Mahmohan Singh menjadi perdana menterinya. Ia berusaha mempertahankan momentum kemajuan akan tetapi harus lebih memperhatikan kesenjangan sosial. Tetapi India sudah terangkat dari status negara miskin tanpa harapan, dan selama sepuluh tahun terakhir ini berhasil mencapai laju pertumbuhan PDB rata-rata 6% setahun, kadang-kadang mencapai 7% setahun. Leading sector dalam hubungan dengan dunia luar adalah sektor teknologi tinggi, yang menjadi sasaran outsourcing jasa-jasa oleh negara kaya. India selalu telah merupakan gudang orang pintar selama negaranya masih sangat miskin. Sekarang sektor yang kualitas SDM-nya tinggi ini mampu mengangkat PDB, walaupun banyak sektor lain di pedalaman masih terbelakang.

Cina adalah contoh lain dari negara besar yang membanting setir, dari politik isolasi dari zaman Mao Tsedong dengan komunisme yang radikal (terbukti hanya ideologi sebagian kecil kader pimpinan saja). Zou Enlai membalikkan ideologi ini dan Cina dibuka. Sekarang Cina secara nominal masih dipimpin oleh partai komunis, akan tetapi pengurusan ekonominya jauh lebih mengikuti kapitalisme pasar. Pimpinan baru Cina berhasil membagi Cina dalam “dua ekonomi”, di daerah pantai dan terutama di Special Economic Zones, berlaku kapitalisme pasar yang sangat bebas, tetapi sektor BUMN dan pedalaman masih dikuasai oleh negara dan pengendaliannya kuat. Di lain fihak, petani pada umumnya sudah diberi kebebasan bertanam. Dengan kombinasi dua ideologi yang sebetulnya bertentangan ini maka Cina dewasa ini berhasil menjadi superpower, yang ekspor-impornya sangat mempengaruhi ekonomi dunia, dan selama tiga dasawarsa PDB-nya sempat tumbuh sekitar 9% setahun. Kinerja Cina ini merupakan sindrom yang tak ada taranya di dunia. 400 juta rakyat miskin berhasil terangkat dari kesengsaraannya. Sekarang, sikap (pemerintah) Cina sangat diamat-amati oleh seluruh dunia, karena Cina merupakan baik ancaman (threat) maupun kesempatan (opportunity) baru. Di berbagai seminar internasional pembicara dari Beijing sering berusaha menentramkan kecemasan hadlirin dari Asia dan Amerika: (Pemerintah) Cina sadar akan tanggung jawab internasionalnya, dan tidak akan merusak ekonomi negara-negara berkembang dengan ekspor tekstil, electronics dan lain-lain hasil industrinya yang sangat murah. Kepada Amerika Serikat ia berjanji akan mengurangi ekspor barang yang sama. Tekstil dari Cina memang sudah menguasai pasar Amerika. Amerika Serikat menuduh Cina sengaja membuat mata uangnya murah (undervaluation of the Yuan) untuk mendorong ekspornya. Cina sampai sekarang menolak untuk mengapresiasikan Yuannya, akan tetapi berjanji untuk menerapkan pajak ekspor terhadap ekspor tekstilnya.

Indonesia sejak zaman Suharto di pertengahan dasawarsa delapanpuluhan sudah melakukan deregulasi dan liberalisasi, dan politik itu juga langsung menguntungkan ekspor dan laju pertumbuhan ekonomi. Selama tiga dasawarsa laju pertumbuhan PDB mencapai sekitar 7% setahun dan ekspornya tumbuh lebih dari 10% setahun. Perbedaan kinerja dengan Cina memang susah untuk dicari keterangan yang afdol. Akan tetapi kualitas SDM Cina memang lebih tinggi, dan kualitas kebijaksanaan pemerintah di Beijing juga lebih baik daripada Jakarta (di akhir zaman Suharto kebijakan ekonomi Jakarta terlalu dipengaruhi oleh keluarga dan kroni yang memegang banyak monopoli).

Kembali ke masalah perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Sebetulnya, ada sistim multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistim-sistim yang regional dan bilateral (regional & bilateral FTAs). Mengapa sistim multilateral WTO macet (di Doha) dan FTA yang bilateral dan regional sekarang lebih merebak? Mula-mula ini disebabkan oleh sikap superpower Amerika Serikat, yang ingin melihat kemajuan di perdagangan dunia yang tidak bisa diperoleh lewat WTO (karena menyangkut terlalu banyak negara yang semuanya harus setuju). Maka AS menggunakan kekuatan pasarnya untuk menekan negara atau kelompok negara untuk merundingkan FTA yang khusus dengannya. Dalam hal ini kepentingan AS yang terutama adalah akses bagi hasil industri dan sektor jasanya, serta perlindungan terhadap hak intelektual (HaKI). Sebagai balasjasa AS bisa memberikan kuota khusus untuk impor tekstil dan lain-lain barang yang diberi perlindungan di AS.

Initiatip Amerika Serikat ini lalu diikuti oleh Jepang dan Cina, juga oleh Korea Selatan, yang masing-masing membujuk negara-negara berkembang di Asia untuk menyetujui FTA yang regional (misalnya dengan Asean) atau bilateral. Masing-masing negara besar punya motif khusus sendiri. Cina cukup agresip mengejar FTA ini. Ekonomi Cina yang tumbuh dengan laju 9% setahun sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa produk pertanian dan kehutanan, yang ia ingin pastikan dengan FTA ini. Maka di Indonesia kita rasakan masuknya Cina secara cukup agresip di bidang energi (mengusahakan Kontrak Bagi Hasil di bidang migas). Lewat FTA dengan Asean dan negara anggotanya maka Cina juga berusaha untuk “mengatur” (manage) perdagangan bilateralnya agar tidak terlalu mencemaskan mitranya. Dengan adanya FTA ada suatu forum antara negara mitra dagang dimana masing-masing pemerintah bisa bertemu secara periodik untuk membicarakan masing-masing persoalannya dan mencari penyelesaian.

Tadi dikatakan bahwa sikap Indonesia terhadap perdagangan bebas internasional sering mendua atau ambivalen. Di satu fihak, takut bahwa pasar dalam negeri akan dicaplok oleh asing, tetapi di lain fihak, juga sadar bahwa kalau tidak ikut mode FTA ini maka Indonesia bisa “ketinggalan”. Salah suatu gejala ketinggalan ini adalah dampak trade diversion. Artinya, kalau antara Malaysia dan Thailand di satu fihak dan Jepang di fihak lain ada FTA maka impor Jepang akan lebih dari kedua negara itu dan yang dirugikan adalah potensi ekspor dari Indonesia ke Jepang.

Maka akhirnya Indonesia juga membuka perundingan bilateral untuk mencapai suatu FTA. Proses perundingan ini mengandung “give-and-take”. Kalau Indonesia mengingini suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia juga harus bersedia menawarkan suatu konsesi (secara “quid-pro-quo”). Maka perundingan demikian berangsur-angsur membuka Indonesia untuk perdagangan yang lebih bebas. Bagi Pemerintah RI, hasil perundingan demikian, termasuk konsesi yang harus diberikan oleh Indonesia, juga bisa dipakai untuk membela kebijakan pemerintah terhadap kritik-kritik dalam negeri yang bisa menuduh pemerintah “menjual diri kepada pengaruh asing”. Indonesia juga menekankan economic partnership, misalnya dengan Jepang, bukan semata-mata mengatur perdagangan. Dalam kemitraan ekonomi yang comprehensive termasuk juga pengaturan bantuan (economic aid) dan investasi untuk pelimpahan teknologi. Karena perjanjian multilateral (WTO) lebih superior daripada FTA bilateral atau regional, maka Pemerintah Indonesia sebaiknya tetap berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA bilateral. Selekas ada kesempatan maka FTA bilateral harus dikaitkan kepada FTA regional dan ini disesuaikan dengan WTO. Pekerjaan ini tidak mudah, akan tetapi harus diusahakan.

Karena alasan politik-praktis serta juga ideologis maka Pemerintah RI sejak zaman Suharto sudah memilih mekanisme pasar terbuka dengan membuka diri terhadap perdagangan internasional dan tidak menolak arus globalisasi. Politik alternatip adalah menjalankan nasionalisme ekonomi yang menutup diri, atau politik ideologis yang sosialis-marxis yang menolak ekonomi dunia karena dikuasai oleh kapitalisme-imperialisme. Kedua aliran pandangan ini juga ada penganutnya di Indonesia, atau khususnya di Jakarta. Akan tetapi, di dunia kedua aliran ini sudah susut pengaruhnya. Tetapi, seperti pemerintah di India, maka di Indonesia pun, pemerintah harus selalu melakukan balancing act agar pengaruh jelek dari ekonomi pasar (yakni kesenjangan antara yang berhasil di pasar dan yang gagal) bisa dilunakkan dengan berbagai kebijakan langsung mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Tugas pemerintah demikian memerlukan kemampuan pemerintah, dalam ukuran APBN, yang besar. Di masa sekarang pemerintah tidak punya kekuatan ini karena APBN terlalu dibebani oleh angsuran pembayaran utang dan subsidi (terutama untuk BBM) yang sangat besar. Maka akhirnya kehidupan pemerintah juga senantiasa terancam (precarious) banyak kritik. Untuk sementara tidak ada alternatif. Kemajuan ekonomi (dan politik) masih dicapai akan tetapi secara gon

JelekBagus sekali Ditulis oleh M. Sadli
Rabu, 25 Mei 2005
(Harian Kompas, Rabu 25 Mei 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar